Masalah Sewa Rahim bukan hal baru dalam fiqh. Tapi ada dalam kitab "Hasyiyah Al-Barmawi Ala Syarh Al-Ghayah li Ibn Qasim Al-Ghazy".
SEWA RAHIM
Sewa rahim adalah pembuahan sel telur perempuan dengan
sperma dari suaminya dalam rahim perempuan lain sampai melahirkan, berupa
imbalan uang atas jasanya ataupun tidak ada imbalan, dikarenakan beberapa
sebab, salahsatunya yaitu rahim pemilik sel telur tidak cocok lagi sebagai
tempat pembuahan, atau dia telah kehilangan rahimnya dengan masih memiliki ovarium
yang bagus untuk pembuahan atau salah satunya untuk pelepasan sel telur, atau
mungkin dikarenakan kemauan pemilik sel telur yang ingin memeliharakan
kesehatan tubuh, kulit dan kecantikannya, atau hanya semata-mata menjauhkan
dirinya dari menimpa kepedihan dan kesusahan selama masa kehamilan dan
persalinan atau alasan-alasan lain dari berbagai hambatan dan dorongan.
Dan ini merupakan sebuah realita yang butuh kepada
penjelasan hukum syariat, karena para jumhur ulama telah mengatakansetiap perbuatan
manusia tidak keluar dari 5 pokok hukum dasar, maka setiap perbuatan yang
terjadi adakala wajib, sunat, haram, makruh dan mubah, wajib adalah suatu
perbuatan yang mendatangkan pahala bagi yang mengerjakannya dan mendapatkan
siksa bagi yang meninggalkannya, sunat adalah perbuatan mendatangkan pahala
bagi yang mengerjakannya dan tidak mendapatkan siksa bagi yang meninggalkannya,
haram adalah mendapatkan siksa bagi yang mengerjakannya dan mendatangkan pahala
bagi yang meninggalkannya, makruh adalah diberikan pahala bagi yang
meninggalkannya dan tidak mendapatkan siksa bagi yang mengerjakannya, dan mubah
adalah perbuatan yang tidak mendatangkan pahala dengan mengerjakannya dan tidak
pula mendapatkan siksa bagi meninggalkannya.
Maka apa hukum syariat dalam hal sewa rahim?
Sebelum memberikan jawaban untuk pertanyaan ini, maka kami akan memberikan
sedikit penjelasan yang sangat penting tentang efektifitas fiqh islami dan
kecocokannya dalam memberi penjelasan hukum setiap perkara baru yang terjadi
dalam kehidupan manusia, perkara ini( kasus sewa rahim) telah mendapatkan
perhatian publik pada akhir abad 20-an, dan sudah menjadi pembicaraan hangat
diantara orang-orang,menjadi amalan di
negara-negara barat secara khusus, dan punya undang-undang khusus dalam permasalahan
tersebut diberapa negara barat.
Sebenarnya para ulama fiqh tempo dulu sudah
membicarakan masalah ini didalam kitab-kitab mereka, dan akan tetapi mereka
tidak meng-istilahkan dengan “sewa rahim atau ibu kedua” , hanya memberikan
penjelasan dengan hakikatnya sahaja. Maka bila dipelajari akan kita dapatkan
didalam salah satu kitab fiqh imam Syafi’i yang selesai penyusunannya sebelum
tahun 350 , yaitu kitab Hasyiyah Al-Barmawi Ala Syarh Al-Ghayah li Ibn Qasim
Al-Ghazy, selesai penyusunannya pada awal Jumadi Tsani 1074 H, kita dapatkan
tulisannya yaitu: “ Ada sebuah pertanyaan yang ditanyakan dalam sebuah majlis
yaitu apabila seseorang mempunyai dua orang budak perempuan, maka bersetubuhlah
dia dengan salah satu diantaranya, dan hamil, dan dia mengeluarkan segumpal
darah(‘alaqah), kemudian datanglah budak perempuan lain dan mengambil segumpal
darah tadi dan memasukkan kedalam kemaluannya, maka terbentuklah didalam
rahimnya dan melahirkan seorang bayi dari hasil tadi, maka apakah budak
perempuan tadi menjadi seorang ibu ataukah tidak?, disana terjadilah keraguan,
dan Syekh Syibramalasi berpendapat bahwa Budak perempuan tadi tidak akan
menjadi seorang ibu, dikarenakan tidak ada penggabungan antara sel telur
darinya dan dari orang lelaki tadi,” dan setelah menyebutkan jawaban kepada
siapa anak tersebut diberikan diantara dua budak itu dan disamping menasabkan
kepada empunya sperma, maka berkata ia:” Anak itu dihubungkan kepada laki-laki
tersebut.[1]