-->

Pages

Thursday, January 21, 2016

Masalah Sewa Rahim bukan hal baru dalam fiqh. Tapi ada dalam kitab "Hasyiyah Al-Barmawi Ala Syarh Al-Ghayah li Ibn Qasim Al-Ghazy".



SEWA RAHIM

Sewa rahim adalah pembuahan sel telur perempuan dengan sperma dari suaminya dalam rahim perempuan lain sampai melahirkan, berupa imbalan uang atas jasanya ataupun tidak ada imbalan, dikarenakan beberapa sebab, salahsatunya yaitu rahim pemilik sel telur tidak cocok lagi sebagai tempat pembuahan, atau dia telah kehilangan rahimnya dengan masih memiliki ovarium yang bagus untuk pembuahan atau salah satunya untuk pelepasan sel telur, atau mungkin dikarenakan kemauan pemilik sel telur yang ingin memeliharakan kesehatan tubuh, kulit dan kecantikannya, atau hanya semata-mata menjauhkan dirinya dari menimpa kepedihan dan kesusahan selama masa kehamilan dan persalinan atau alasan-alasan lain dari berbagai hambatan dan dorongan.

Dan ini merupakan sebuah realita yang butuh kepada penjelasan hukum syariat, karena para jumhur ulama telah mengatakan setiap perbuatan manusia tidak keluar dari 5 pokok hukum dasar, maka setiap perbuatan yang terjadi adakala wajib, sunat, haram, makruh dan mubah, wajib adalah suatu perbuatan yang mendatangkan pahala bagi yang mengerjakannya dan mendapatkan siksa bagi yang meninggalkannya, sunat adalah perbuatan mendatangkan pahala bagi yang mengerjakannya dan tidak mendapatkan siksa bagi yang meninggalkannya, haram adalah mendapatkan siksa bagi yang mengerjakannya dan mendatangkan pahala bagi yang meninggalkannya, makruh adalah diberikan pahala bagi yang meninggalkannya dan tidak mendapatkan siksa bagi yang mengerjakannya, dan mubah adalah perbuatan yang tidak mendatangkan pahala dengan mengerjakannya dan tidak pula mendapatkan siksa bagi meninggalkannya.

Maka apa hukum syariat dalam hal sewa rahim? Sebelum memberikan jawaban untuk pertanyaan ini, maka kami akan memberikan sedikit penjelasan yang sangat penting tentang efektifitas fiqh islami dan kecocokannya dalam memberi penjelasan hukum setiap perkara baru yang terjadi dalam kehidupan manusia, perkara ini( kasus sewa rahim) telah mendapatkan perhatian publik pada akhir abad 20-an, dan sudah menjadi pembicaraan hangat diantara orang-orang,  menjadi amalan di negara-negara barat secara khusus, dan punya undang-undang khusus dalam permasalahan tersebut diberapa negara barat. 

Sebenarnya para ulama fiqh tempo dulu sudah membicarakan masalah ini didalam kitab-kitab mereka, dan akan tetapi mereka tidak meng-istilahkan dengan “sewa rahim atau ibu kedua” , hanya memberikan penjelasan dengan hakikatnya sahaja. Maka bila dipelajari akan kita dapatkan didalam salah satu kitab fiqh imam Syafi’i yang selesai penyusunannya sebelum tahun 350 , yaitu kitab Hasyiyah Al-Barmawi Ala Syarh Al-Ghayah li Ibn Qasim Al-Ghazy, selesai penyusunannya pada awal Jumadi Tsani 1074 H, kita dapatkan tulisannya yaitu: “ Ada sebuah pertanyaan yang ditanyakan dalam sebuah majlis yaitu apabila seseorang mempunyai dua orang budak perempuan, maka bersetubuhlah dia dengan salah satu diantaranya, dan hamil, dan dia mengeluarkan segumpal darah(‘alaqah), kemudian datanglah budak perempuan lain dan mengambil segumpal darah tadi dan memasukkan kedalam kemaluannya, maka terbentuklah didalam rahimnya dan melahirkan seorang bayi dari hasil tadi, maka apakah budak perempuan tadi menjadi seorang ibu ataukah tidak?, disana terjadilah keraguan, dan Syekh Syibramalasi berpendapat bahwa Budak perempuan tadi tidak akan menjadi seorang ibu, dikarenakan tidak ada penggabungan antara sel telur darinya dan dari orang lelaki tadi,” dan setelah menyebutkan jawaban kepada siapa anak tersebut diberikan diantara dua budak itu dan disamping menasabkan kepada empunya sperma, maka berkata ia:” Anak itu dihubungkan kepada laki-laki tersebut.[1]



[1] Hasyiyah Al-Barmawi, Hal.320

Twitter

Lajnah bahtsul masail pesantren MUDI mesra

ANEUK LENPIPA