Fiqh Tempo dulu berbicara tentang Bank Sperma (bukan masalah fiqh baru)
Bank Sperma dan
Ovum
Salah satu permasalahan baru yang terjadi pada akhir abad 20-an adalah
masalah Bank Sperma dan Ovum, dan hukum menyimpan ovum perempuan yang sudah di
gabungkan dengan sperma laki-laki dan itu sudah menjadi kenyataan dalam
kehidupan masyarakat Negara-negara barat, dan kita dapatkan bahwa para ulama
fiqh dahulu ada memaparkan sedikit tentang permasalahan ini.
Syeh Muhammad Ramli yang masyhur
dengan gelar Syafi’i Shaghir(syafi’i kecil) pernah memberikan sedikit
penjelasan yang behubungan dengan masalah Budak perempuan( pada masa beliau
budak masih ada), bahwa ketika budak perempuan menjadi ummu walad[1],
tidak diperbolehkan untuk dijual, dihibah dan lain sebagainya, beliau
menjelaskan hukum apabila seseorang memiliki seorang budak perempuan, dan
majikannya telah meninggal dan budak tersebut masih menyimpan sperma
majikannya, kemudian memasukkan sperma tersebut kedalam kemaluannya setelah
majikannya meninggal dunia, maka budak tersebut hamil dan melahirkan seorang
anak, maka budak itu tidak menjadikannya sebagai ummu walad dan dia masih
seperti budak biasa, karena dia bukan lagi milik majikan tadi ketika terjadinya
hamil, akan tetapi anak itu tetap menjadi keturunan mantan majikannya dan
hukum-hukum yang terikat dengan hal tesebut, dan anak itu dapat mewarisi mantan
majikannya, karena memang anaknya.
Kemudian Ramli menjelaskan syarat yang
harus ada untuk sebut nasab yang sah yaitu sperma pria tersebut harus
muhtaram(sah menurut syariat) ketika inzal(ejakulasi), dan dia tidak
mengsyaratkan Masyru’an(sah menurut syara’) ketika sperma itu di masukkan
kedalam farj(Vagina), sedangkan pendapat ulama lain mengatakan harus memenuhi 2
syarat yaitu: 1. Masyru’an ketika inzal, 2. Masyru’an ketika istidkhal(sperma
dimasukkan kedalam vagina).
Ramli berkata:” Jika seorang budak
memasukkan sperma majikannya yang muhtaram(masyru’an) setelah majikannnya itu
meninggal maka budak tersebut tidak akan menjadi ummu walad dikarenakan budak
tadi bukan lagi milik majikannya yang sudah meninggal ketika sperma itu dimasukkan
kedalam vaginanya walaupun sebutlah keturunan anak yang akan dilahirkan oleh
budak tersebut dan dapat mewarisi dikarenakan sperma tadi muhtaram dan tidak
diharuskan muhtaram ketika dimasukkannya, berbeda dengan pendapat sebahagian
ulama, kemudian ada pertanyaan yang dapat dijawab yaitu: Bagaimana anak itu
dapat mewarisi sedangkan budak tersebut tidak hamil ketika majikannya
meninggal?, Ramli menjawab:” Mudah-mudahan hikmah warisan tadi yaitu mereka
para ulama mencukupkan hukum pada adanya sperma ketika wafat walaupun budak itu
tidak hamil ketika wafat, maka dianggap ada karena anak itu ada ketika
meninggal”.[2]
[1]Sudah disetubuhi
oleh majikannya, didalam fiqh ada hukum terpisah dalam hal ini
[2]Nihayah al-Muhtaj,
Muhammad bin Ahmad Ar-ramli, Jld: 7, Hal: 127