-->

Pages

Monday, June 27, 2011

I Speak for Myself: American Women on Being Muslim

Salam alaikum
Saya sangat suka dengan tulisan yang diungkapkan oelh Hidayatullah.com tentang sebuah buku yang berjudul "I Speak for Myself: American Women on Being Muslim". 
I Speak for Myself: American Women on Being Muslim 
Semoga menjadi talaah bagi kita Muslim yang hidup dijaman yang sangat complicated ini... Islam sangat mengutamakan kebenaran dan keterbukaan, hanya propaganda orang2 yang tidak ingin Islam bangkit kembali.

Ini adalah Kutipan dari Hidayatullah.com Tanggal  Senin, 27 Juni 2011

Hidayatullah.com--Apa artinya menjadi seorang Muslimah di Amerika dewasa ini? Dalam “I Speak for Myself”, 40 Muslimah Amerika bertutur tentang pengalaman tumbuh besar di Amerika. Cerita pribadi mereka tentang perjuangan dan keberhasilan mengingatkan bahwa kita punya lebih banyak kesamaan dalam perjalanan kehidupan daripada yang sering kita bisa sadari.
I Speak for Myself: American Women on Being Muslim"I Speak for Myself: American Women on Being Muslim", yang disunting oleh Maria M. Ebrahimji dan Zahra T. Suratwala, menyuguhi pembaca bagaimana rasanya tumbuh besar sebagai seorang Muslimah di Amerika, dengan berbagai pertimbangan emosi, simbolik dan sosial yang cukup ruwet.
Cerita-cerita di buku ini adalah manifestasi dari evolusi spiritual. Di permukaan, kita membaca tentang hubungan yang bermasalah dengan para suami, rekan kerja, orangtua dan teman, tapi, di tingkat yang lebih dalam, perjalanan itu adalah sebuah ekspresi semangat manusia.
Para perempuan ini berhasil mengatasi kesulitan dalam hidup mereka dan mengingatkan kita potensi dan keberanian yang ada pada masing-masing kita. Saat kita tumbuh berkembang dan dewasa, kita menjadi sadar akan keindahan dan kesucian hidup yang melampaui budaya.
Misalnya, salah satu Muslimah menulis tentang pengalaman mendapati suaranya lebih kuat dan bertenaga setelah mengalami perceraian dan pelecehan. Seorang Muslimah lainnya membincangkan signifikansi kultural dari perbincangan-perbincangannya ketika bekerja sebagai anggota dewan.
Kita juga membaca tentang bagaimana seorang perempuan dengan kocak dan cemas mengatasi kesenjangan generasi dan budaya yang ia alami dengan orangtuanya.
Bergulat dengan hasrat untuk menyesuaikan diri, perempuan lainnya menggambarkan bagaimana ia berjuang untuk menjelaskan dan merasionalisasi namanya, sementara yang lain bicara tentang sulitnya memutuskan apakah perlu mengenakan jilbab atau tidak. Setiap perempuan menggambarkan potensi kreatif terdalamnya sendiri, dan mengekspresikan hakikat tentang eksistensi manusia.
Disusun di Amerika Serikat dan beberapa negara lain, “I Speak for Myself” dikontekstualisasikan dalam berbagai wacana identitas Amerika dan Muslim.
Himpunan cerita ini memperluas wacana-wacana ini hingga mencakup isu ras, kelas, agama, etnis, sejarah, politik, bahasa dan jender. Cerita-cerita tersebut mengesankan pemikiran masing-masing masyarakat tentang sejarah, Islam dan budaya tampak ruwet, sehingga pada akhirnya menantang anggapan bahwa para Muslimah tak bisa bersuara dan tak berdaya. Para penulis mengajari kita bahwa di luar budaya, ada ikatan yang lebih mendalam yang mempertalikan kita – hasrat kita akan perdamaian dan keadilan sosial.
“I Speak for Myself” menyediakan beragam contoh yang menjelaskan berbagai kemungkinan yang dihadapi manusia. Masing-masing perempuan menggambarkan identitas Amerika yang terganggu dengan ambivalensi dan kecemasan nyata tentang keterkaitan yang jelas di antara agama, politik dan ekspektasi sosial. Salah seorang perempuan bicara tentang seorang temannya pada masa kanak-kanak yang melihatnya sebagai orang Amerika dan bukan Muslim, dan bagaimana, pada saat itu, itu membuatnya bangga. Tapi kebingungan membuatnya berpikir sejenak dan menyadari bahwa ia tidak harus memilih antara menjadi Muslim dan menjadi orang Amerika. Ia bisa menjadi dua-duanya.
Muslimah lainnya menerangkan bagaimana pada masa mudanya ia berjuang untuk menjadi Muslim yang “benar” dan menyesuaikan diri dengan komunitas Muslim. Ia segera menyadari bahwa tidak hanya ada satu cara untuk menjadi Muslim dan bahwa Islam menyambut baik bermacam ekspresi keberagamaan.
Tapi tantangan ada tak hanya pada masa anak-anak dan remaja. Seorang Muslimah Afrika-Amerika menggambarkan bagaimana ia merasa menjadi bagian sekaligus terkucil dalam komunitas Muslim, serta hasratnya agar Muslim mengatasi masalah diskriminasi dalam sebagian komunitas Muslim. Seorang Muslimah Afrika-Amerika lainnya menggambarkan frustrasi yang ia alami ketika mencoba merangkul identitas Islam, feminis dan Afrika-Amerika yang “sejati”. Alih-alih, ia memutuskan untuk merangkul berbagai kepingan terpisah dan kontradiktif dari kepribadiannya, daripada mencoba menjadi seperti orang lain.
Perbincangan tentang keyakinan agama masing-masing perempuan mencerminkan bagaimana identitas mengalami pasang surut, disesuaikan dan dinegosiasikan. Masing-masing perempuan menjadi bagian dari negosiasi antara kekuatan dan ketidakberdayaan ini di mana ia melemahkan mitologi tentang Muslimah yang tertindas dan menciptakan sebuah model perlawanan.
Para perempuan yang berbagi cerita di buku ini adalah para insinyur, dokter, pengacara, tokoh masyarakat, pejuang keadilan sosial, mantan relawan Peace Corps dan Teach for America, seniman, profesor, mahasiswa, politisi, peraih penghargaan, bloger, jurnalis, aktivis lingkungan dan, terutama sekali, saudara-saudara kita dalam kemanusiaan. Melalui pengalaman masing-masing perempuan, para pembaca I Speak for Myself mendapatkan pemahaman yang lebih kuat tentang bagaimana rasanya tumbuh besar sebagai seorang Muslimah di Amerika.
Bethsaida Nieves. Penulis adalah seorang mahasiswa doktoral di University of Wisconsin-Madison. Ia memiliki minat untuk meneliti dan mengajar dalam kajian pendidikan internasional dan perbandingan. Artikel ini ditulis untuk Kantor Berita Common Ground (CGNews)

Red: Panji Islam

Tags
American Women
Qur'an
Editing
My self
Sharing
Best Buy

Twitter

Lajnah bahtsul masail pesantren MUDI mesra

ANEUK LENPIPA